Kamis, 01 Desember 2011

Cerita tentang Fisika

Fisika….satu kata 6 huruf. Ketika kata itu diucapkan pasti langsung terbesit suatu pemikiran akan sulitnya pelajaran satu ini. Bergelut dengan berbagai rumus dan simbol-simbol yang membuat kita semakin bingung. Ditambah dengan suasana kelas yang membosankan, belajar fisika pun menjadi semakin membosankan.
Ya, begitulah beratnya menghadapi pelajaran ini. Apalagi setelah masuk SMA dengan standar ketuntasan yang tinggi membuat semakin frustasi. Setahun berlalu, saya akhirnya masuk ke jurusan ilmu alam. Saya masuk ke kelas XI IA 4 dan lagi-lagi saya harus menghadapi pelajaran fisika. Kelas baru, teman baru, dan so pasti guru fisika baru. Fisika memang pelajaran yang sulit dimengerti. Itu pemikiran awal saya sebelum akhirnya saya bertemu dengan seorang guru fisika yang namanya mungkin sudah tak asing lagi khusunya bagi siswa(i) jurusan ilmu alam di sekolahku. 
Beliau adalah Rudy Hilkya, seorang guru yang energik, rapi, dan tegas.Beliau adalah guru pertama yang bisa membuat saya merasa nyaman ketika belajar fisika. Bagaimana tidak, bapak dua anak ini mampu mewujudkan proses belajar-mengajar yang berbeda dengan guru-guru yang pernah mengajar saya sebelumnya. Mengajar yang komunikatif dengan para muridnya sehingga belajar menjadi lebih menyenangkan. Beliau mengajar dengan ringkas dan cermat. Selama pelajaran fisika tak jarang kami ditemani dengan alunan musik dari laptop yang setia menemani beliau. Beliau juga mengajak kami memainkan beberapa permainan untuk sekedar melepas kebosanan dan menghibur diri ketika rasa lelah dan jenuh menghampiri. 
Selain games, beliau sering menyelipkan joke-joke dengan mimik wajah dan tingkah yang mengundang tawa disela-sela penjelasannya di kelas yang makin membuat suasana kelas menjadi hidup. Tak lupa beliau juga memberikan beberapa nasihat dan kata-kata bijak yang sangat bermanfaat bagi kami dalam usaha mewujudkan manusia yang sempurna dan paripurna (seperti doa yang beliau ajarkan). Beliau juga adalah guru yang kreatif, terampil dan penuh kejutan. Beliau tidak saja mengajarkan materi di kelas tapi juga mengajak murid-muridnya untuk berkreasi dengan membuat beberapa praktikum, seperti berikut ini:
Praktikum tentang gaya pegas di Lab.Fisika

Berawal dari praktikum, hingga dibuat perlombaan roket angin 
ketika HUT SMADA ke-28 thn 2011

Bahkan ketika kami masuk ke pembahasan tentang usaha dan energi. Diluar dugaan beliau mengajak kami bermain suatu permainan yaitu Electrocity. Kami berlomba-lomba untuk meraih nilai diatas 90 dalam game ini. Berikut beberapa hasil permainan kami:
Tidak hanya mendedikasikan dirinya sebagai seorang pengajar di SMAN 2 Palangka Raya, beliau juga membagikan ilmu dan pengetahuannya melalui sebuah blog, yaitu fisikarudy.com.
Beliau ingin berbagi pengetahuannya kepada khalayak umum khusunya bagi pelajar-pelajar yang berada di jurusan ilmu alam seperti saya. fisikarudy.com ini berisi tentang materi-materi pembelajaran fisika, contoh-contoh soal dan latihan-latihan soal.Keberadaan blog ini sangat membantu dalam pembelajaran fisika, buktinya pengunjung blog fisikarudy.com sudah hampir mencapai angka jutaan. Wah...patut diacungi jempol nih. Sukses selalu ya..fisikarudy.com
Selain blog, beliau juga mendirikan sebuah grup fisikarudy baik di Facebook maupun Twitter. Di grup inilah semua pertanyaan, diskusi, atau sekedar ocehan-ocehan anggota yang adalah pelajar SMAN 2 Palangkaraya tertampung. Pengalaman dan pengetahuan, semua menjadi satu kesatuan dalam grup ini. Grup ini juga menjadi sarana untuk berbagi informasi dari beliau dan berfungsi sebagai sarana komunikasi para anggotanya. Dengan member yang sudah mencapai angka ribuan, grup ini selalu berkembang menjadi bukti kedekatan beliau dengan para muridnya. Wah..top abis deh buat grup fisikarudy.
Sebelum saya mengakhiri tulisan saya kali ini, saya ingin berterima kasih pada Bapak Rudy Hilkya yang sudah bersedia mengajarkan, membantu, dan membimbing kami baik di sekolah, di grup fisikarudy, dan di blog fisikarudy.com yang telah banyak membantu kami dalam tugas belajar kami. 

Rabu, 30 November 2011

Cerpen-Teman Untuk Naisa

           “Kalo jalan lihat-lihat dong!” bentakku seraya merapikan buku-buku yang berserakan di lantai.
            “Maaf,aku nggak lihat” jawab seseorang di hadapanku.
            Kutatap dia dengan wajah sinis. “Emang aku kurang gede sampe kamu nggak lihat?!”
            “Aku kan udah minta maaf”serunya.
Aku langsung berdiri dan melangkah pergi. Aku memang cuek, aku tak peduli dengan omongan orang yang mengatakan aku seorang cewek yang galak dan dingin. Tak heran orang berkata begitu, di sekolah yang luas ini aku tak punya seorang teman pun. Aku memang suka sendiri dan memang tak ada seorangpun yang cocok berteman denganku karena yang mereka pikirkan itu cuma shopping,pacaran,main games, ngegosip yang nggak penting dan ngabisin  uang. Punya teman atau nggak juga nggak ngaruh. Aku ya aku dan aku menjalani hidupku dengan caraku sendiri. Buktinya sampai sekarang aku baik-baik aja tanpa teman.
Seperti hari-hari biasanya,aku mengikuti semua pelajaran dengan baik sampai tiba waktunya pelajaran terakhir untuk hari ini,Biologi.
            “Sabtu ini kita akan mengadakan study outdoor, maka dari itu tugas kali ini adalah observasi mengenai keanekaragaman hayati secara berkelompok. Satu kelompok minimal 2 orang dan maksimal 6 orang. Isi semua data yang diminta dalam kertas ini” jelas Bu Suchi seraya membagikan beberapa kertas pada tiap kelompok dan seperti biasa juga aku selalu mengerjakan tugas kelompok sendiri.
            “Naisa,mana anggota kelompokmu?” tanyanya seraya menyerahkan beberapa kertas padaku.
            Nggak ada…cuma aku” jawabku singkat.
            “Untuk tugas kali ini wajib berkelompok. Jadi cobalah untuk bergaul dengan teman sekelasmu” seru Bu Suchi tersenyum.
            “Huft….Benar-benar  menyebalkan, aku tak tertarik bergaul dengan orang macam mereka” pikirku.
            Trrrriiiing………. Bel pulang berbunyi, dengan langkah santai aku keluar kelas dan berjalan menuju parkiran.
            “Nai!!! Naisa tunggu!!” teriak seseorang yang berada jauh di belakangku. Aku menoleh sebentar kemudian melanjutkan perjalananku.
            “Aku tak punya urusan dengannya, jadi aku tak mau membuang waktuku dengan percuma” batinku.
            “Naisa!!” panggilnya lagi, seraya menepuk pundakku.
            “Kenapa?”ucapku seraya menoleh dengan malasnya.
            “Aku belum dapat kelompok nih”
            “Trus kenapa? Emang aku peduli gitu kamu punya kelompok atau nggak?”
            “Kamu judes banget sih. Berhubung kamu belum punya teman sekelompok dan aku juga belum punya, gimana kalo kita berdua sekelompok aja” ucapnya riang dengan memamerkan senyum manisnya yang bagi beberapa cewek di kelas itu senyuman yang menawan.
            “Nggak ah….malas sekelompok sama kamu” jawabku judes lalu melangkah pergi.
            “Ya…jangan gitu dong Nai…”serunya seraya mengejarku.
            “Emang kenapa sih kamu nggak mau sekelompok sama aku?” serunya lagi. Langkahku terhenti,kemudian menoleh.
            “Kamu bawel ya…Kalau aku bilang nggak mau ya nggak mau. Kamu cari kelompok lain aja” seruku dengan nada meninggi kemudian melanjutkan langkahku sedikit lebih cepat.
            “Aku maunya sekelompok sama Naisa Trimutia!” teriaknya tapi tak kugubris.
            Aku, Samuel Andihartito suka sama Naisa Trimutia!!!” teriaknya lagi. Kali ini langkahku terhenti kemudian berpaling menghadapnya.
            “Kamu gila atau emang mau ngerjain aku? Becandaan kamu itu nggak lucu banget!!” seruku judes.
            Aku serius dan aku bakal teriak lebih nyaring lagi sampai seisi sekolah ini dengar kalau kamu tetap nggak mau sekelompok sama aku”
            “Emang aku peduli gitu…Kamu nggak akan berani ngelakuin itu” seruku santai padahal aku sedikit takut sama kenekatan cowok ini.
            “Aku hitung sampai 3. Satu…” ucapnya mulai menghitung.
            Degh…jantungku berdegup. ”Dia nggak mungkin ngelakuin itu” batinku berusaha untuk tetap tenang.
            “Dua….” Lanjutnya.Peluhku mulai menetes.
            “Nggak…dia nggak bercanda. Aku harus gimana?” batinku panic saraya berpikir keras.
            “Tiga…Sa…”
            “Iya!!!!!” teriakku nyaring hingga Samuel enggan melanjutkan kata-katanya.
            “Iya…Kamu boleh sekelompok sama aku” seruku pasrah. Senyumnya merekah kemudian berlari menghampiriku.
            “Nah gitu dong…”serunya membelai rambutku.
            Sejak hari itu, Samuel resmi menjadi anggota kelompokku. Dia bisa menjadi patner yang baik untukku. Dia cowok yang sabar dan pintar. Dia bisa mengimbangi keegoisanku. Terkadang dia juga ikut membantuku ketika aku sedang dalam kesulitan. Lama-kelamaan, hubunganku dengan Samuel semakin dekat. Dia akhirnya menjadi sahabat baikku. Aku bersyukur bisa mengenal orang sebaik dia.
* * *
            “Nai…Nih roti pesanan kamu” serunya menyuguhkan sepotong roti keju pesananku.
            “Thanks” ucapku.
            Seperti hari-hari sebelumnya, aku selalu menghabiskan waktu istirahat berdua dengan Samuel di kantin. Aku merasa banyak terjadi perubahan dalam hidupku setelah bersahabat dengan Samuel, aku sedikit bisa bergaul dengan teman-teman sekelas dan tak jarang aku ikut belajar kelompok sama beberapa teman sekelas dan tentu saja selalu ada Samuel.
            “Aku senang akhir-akhir ini kamu kelihatan lebih ceria dari sebelumnya…” seru Samuel memulai pembicaraan.
            “Masa sih?” seruku seraya menatapnya.
            “Ya…aku dari dulu sering merhatiin kamu. Dulu kamu kelihatan kesepian jadi sikapmu jadi judes dan galak sama orang lain. Sebenarnya kenapa sih dulu kamu bisa gitu?”
            “Dari aku kecil, aku sudah terbiasa sendiri karena keadaan. Ortuku cerai, lalu mama pergi dari rumah ninggalin aku yang waktu itu masih umur 8 dan papa selalu sibuk sama pekerjaannya. Awalnya emang berat karena harus sendiri, tapi akhirnya aku terbiasa sama keadaan rumah yang sepi. Hari-hari aku lalui sengan menyibukkan diri untuk les, belajar, atau sekedar olahraga. Sampai sekarang pun papa sibuk mengurus bisnisnya, paling yang ada di rumah hanya aku dan beberapa pembantu. Mungkin itu sebabnya aku nggak pintar beradaptasi dan bergaul” tuturku.
Samuel mengelus lembut rambutku sambil tersenyum. “Sekarang kamu udah nggak sendirian lagi, ada aku disini. Kapanpun kamu perlu aku bakal selalu ada kok buat kamu” serunya.
            “Aku tahu kok” seruku.
            Aku selalu merasa nyaman saat bersama Samuel. Aku bisa bersandar dibahunya saat aku perlu, aku bisa mengeluh, bercerita, bercanda, bahkan menangis hanya dengannya. Dia adalah orang terpenting dalam hidupku. Aku sayang dia melebihi diriku sendiri.
* * *
            Tok…tok…tok…seseorang mengetok pintu rumahku, aku bergegas membukanya.
            “Pagi Nai” sapa Samuel yang sudah berdiri tepat di depan pintu rumahku.
            “Ada apa Sam pagi-pagi ke rumahku?” tanyaku padanya.
            “Inikan hari minggu, daripada kamu sendiri di rumah mending ikut aku jalan” ajaknya.
            “Jalan? Hmm…”seruku berpikir.
            “Ayolah,nggak asik kalau jalan sendiri”
            “Hmm..Oke deh, tapi tunggu bentar aku ganti baju dulu”
            “Sip..” ucapnya senang.
Dia mengajakku berkeliling kota. Kemudian kami pergi ke taman hiburan, kami memainkan semua wahana permainan di taman bermain itu sampai tak terasa malam pun tiba. Kami makan malam di sebuah cafe di area taman bermain itu.
            “Thanks ya Sam…Ini hari yang menyenangkan” seruku memulai pembicaraan sambil menikmati suasana malam itu.
            “Hmm…sama-sama upacnya tersenyum.
            “Oya Nai…”serunya lagi, aku menoleh melihat dia mengambil sesuatu dari sakunya.
            “Sebenarnya aku mau ngasih ini ke kamu” serunya seraya mengalungkan kalung kupu-kupu ke leherku.
            “Ini untuk apa Sam?” ucapku kaget campur senang.
            “Gimana suka nggak?” serunya.
            “Aku suka, tapi aku kan nggak ulang tahun hari ini” seruku heran.
            “Ya…aku cuma pengen kasih kamu kenang-kenangan hari ini, biar kamu nggak lupa akan hari ini. Jaga baik-baik kalungnya ya..”
            “Iya” jawabku seraya tersenyum.
            “Aku masih nggak ngerti maksudnya tapi biarlah. Aku senang memiliki benda ini” batinku seraya mengelus lembut kalung pemberian Samuel.
* * *
            Seperti hari-hari biasanya, pagi itu dengan semangat aku pergi menuju sekolahku. Tak lupa kukenakan kalung pemberian Samuel.
            “Pagi semua” seruku riang saat masuk ke dalam kelas kemudian duduk dibangkuku.
            “Pagi Nai, tumben senang banget pagi-pagi gini” seru beberapa teman sekelasku. Aku hanya nyengir sendiri.
            Hingga pelajaran pertama dimulai tak kulihat sosok Samuel di kelas, nggak biasanya dia telat atau mungkin dia sedang membolos. Saat istirahat kucoba mencarinya disetiap sudut sekolah. Berharap dapat menemukan sosok Samuel diantara ratusan murid di sini, tapi tetap tak kutemukan. Sampai bel tanda pelajaran hari itu berakhir tetap tak kutemukan dirinya.
            “Ada apa dengan Samuel?” batinku.
            Hari berikutnya pun Samuel tidak ada di kelas. Kutanyakan perihal ketidakhadiran Samuel pada wali kelasku tapi beliau tidak mengatakan alasan Samuel tidak hadir di sekolah secara jelas. Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Pikiranku mulai menjurus pada hal-hal yang menakutkan dan membuatku khawatir.
            Hari ini tepat seminggu Samuel tidak menampakkan dirinya di sekolah. Hari ini aku bertekat untuk mencari tahu sendiri keadaan Samuel. Rencanaku terhalang, tak seorangpun yang tahu dimana rumah Samuel. Dia memang tak pernah mengajak seorangpun termasuk aku ke rumahnya. Akhirnya aku pulang dengan pikiran berkecamuk.
            “Samuel kemana?dia pindah, sakit, atau apa sih…Ponselnya juga nggak aktif, sama sekali nggak ada kabar bikin aku khawatir” batinku seraya menggenggam kalung kupu-kupu pemberian Samuel.
            Sesampainya dirumah aku dikejutkan dengan kehadiran papa yag duduk di ruang tamu. Tak seperti biasanya papa pulang cepat. Kucoba bertanya, namun beliau hanya mengatakan, “Nai,sekarang kamu ganti baju ya…kamu ikut papa”.
            Aku sempat binggung tapi tetap mengiyakan, mungkin saja ada sesuatu yang penting. Aku melangkah menuju kamarku. Mengganti seragamku dengan baju hitam kesayanganku dan celana jeans kemudian menghampiri papa. Mobil kami pun melaju di jalanan kota. Dlam kebingunggan, aku memberanikan diri untuk bertanya.
            “Kita mau kemana pa?” tanyaku heran.
            “Nanti kamu akan tahu juga” jawab papa singkat. Aku pun tak berkomentar dan menurut saja.
* * *
            “Pa…kita ngapain ke sini?”tanyaku ketika mengetahui tempat tujuan kami. Tapi papa tidak menjawab.
            Saat keluar dari mobil kulihat banyak orang memakai baju hitam. Kupercepat langkahku ketika kudapati guru dan teman-temanku ada diantara orang-orang itu.
            “Siapa yang dikuburkan?” batinku cemas.
            “Ani, kenapa kalian disini?” tanyaku ketika sudah berhasil mendekati salah satu teman sekelasku. Dia tak menjawab, tapi justru menatapku dengan pandangan kekhawatiran. Dengan perasaan berkecamuk aku melangkah mendekati liang kubur. Tangisku menjadi ketika kudapati nama Samuel Andihartito di nisan itu.
            “Nggak!!! Samuel nggak mungkin ninggalin aku!!
teriakku. Aku tak pernah menyangka semua ini.
“Ini nggak mungkin Samuel kan?!tanyaku pada orang-orang disekitarku. Suaraku bergetar menahan kpedihan. Air mataku pun mengalir deras. Guru dan teman-temanku berusaha menyabarkanku. Mereka memelukku yang terisak.
            Hari semakin mendung, semendung hatiku sekarang. Orang-orang sudah membubarkan diri meninggalkanku dan nisan yang berdiri tegak didepanku.
            “Kenapa kamu pergi Sam? Aku nggak mau sendiri lagi, aku perlu kamu Sam” seruku. Air mataku menetes lagi tanda kepedihan yang teramat dalam yang kurasakan.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita? Kenapa Sam? Sampai saat terakhir aku bertemu kamu pun, kamu tetap tersenyum dengan cerianya. Padahal yang kamu rasain itu sakit banget. Kenapa kamu nggak bilang ke aku Sam?” ucapku dalam hati, isak tangisku pun tak terbendung lagi.
            “Kamu Naisa kan?” tanya seseorang padaku. Kutatap dia seraya mengusap air mataku yang sejak tadi membasahi pipiku.
            “Iya” jawabku pada wanita paruh baya di dekatku.
            “Samuel sering cerita sama tante tentang seorang gadis istimewa bernama Naisa. Dia menitipkan ini untukmu” serunya seraya menyerahkan sepucuk surat padaku kemundian melangkah pergi meninggalkanku yang masih tak percaya pada semua ini. Kubuka perlahan surat itu. Kubaca kata demi kata.
To Naisa…
            Sebelumnya aku minta maaf kerena aku menyembunyikan semua ini dari kamu dan sudah melibatkanmu dalam kehidupanku yang singkat ini. Sejak awal aku sadar kalau aku nggak mungkin bisa di sampingmu selamanya. Aku nggak bermaksud untuk pergi meninggalkanmu Nai, sungguh…kamu adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan untukku. Aku bersyukur bisa mengenal dan mencintaimu. Aku bersyukur bisa melewati hari-hari dalam hidupku bersamamu.
            Terima kasih Nai…Karena kamu aku bisa mengenal indahnya kehidupan, kamu sudah memberi warna baru dalam hidupku yang kelam ini. Aku yakin kamu akan baik- baik saja karena aku tahu kamu cewek yang tegar. Aku nggak mau melihatmu menangis karena aku. Aku ingin kamu tetap tersenyum walau tanpa aku. Tetaplah jadi Naisa yang kuat, tegar, dan riang seperti kupu-kupu cantik yang akan tetap terbang walau angin kencang berhembus dan akan tetap hidup walau bunga-bunga layu berguguran. Aku memang nggak mungkin bisa menemanimu lagi, mendengar keluh-kesahmu lagi dan mengukir cerita indah bersamamu lagi, tapi aku ingin menjadi kenangan terindah dalam hatimu…
            Samuel sayang Naisa….
Bertanda,       
Samuel Andihartito

            Tangisku semakin menjadi. Aku tahu Samuel sayang padaku tapi aku tak sempat membalas perasaannya. Sebuah penyesalan terbesar dalam hidupku. Kugenggam erat liontin kupu-kupu peninggalan satu-satunya dari sahabat terbaikku itu.